Kamis, 20 September 2007

Senin, 17 September 2007

Infancy & Toddlerhood

Bahan:?
Diupload oleh: Ewa


Sesi 3
Infancy & Toddlerhood adalah tahap pertama pada perkembangan manusia setelah ia dilahirkan. Pada tahap ini terjadi perubahan-perubahan yang sangat pesat pada seluruh aspeknya.

Ketika sang ibu sedang hamil hingga ia melahirkan, terjadi berbagai kemungkinan ibu dan bayi menghadapi berbagai gangguan dan penyakit. Ahli medis berusaha melakukan berbagai hal untuk membantu ibu dan anak, termasuk berbagai proses melahirkan yang kini ada, seperti vaginal, caesar dan bantuan obat serta alat. Ketika sang bayi lahir, dokter memeriksa kesehatan bayi dengan melakukan beberapa tes, seperti tes APGAR.

Pertumbuhan fisik adalah perubahan yang paling mudah dilihat dibandingkan dengan perkembangan lain. Pertambahan berat dapat mencapai 6 kali lipat dan tinggi badan dapat mencapai 2 kali lipat dibandingkan ketika ia dilahirkan. Pertumbuhan ini membutuhkan nutrisi yang baik.

Perkembangan motorik bayi & batita mengikuti 2 prinsip, yaitu proximodistal dan cephalocaudal. Perkembangan ini didukung oleh kemampuan sensoris, kematangan tubuh dan dukungan dari lingkungan anak.

Perkembangan kognitif pada tahap ini dapat dilihat dari kemampuan berpikir dan bahasa anak. Perubahan kognitif dibahas cukup lengkap oleh Piaget. Ia membahas cara belajar dan tahapan yang terjadi. Ahli-ahli dalam bidang lain juga berusaha untuk menjelaskan perubahan ini.

Perkembangan bahasa anak terlihat dari perubahan dari tangisan hingga akhirnya anak mampu membuat kata dan kalimat. Bahasa merupakan aspek yang penting karena bahasa merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan baru, berkomunikasi dan mengekspresikan emosi.

Perkembangan lain yang terlihat pada bayi dan batita adalah perkembangan emosi dan temperamen. Bayi dapat mengekspresikan emosinya melalui tangisan, senyuman dan tawa. Para ahli menglasifikasikan temperamen bayi menjadi tiga, yaitu easy, difficult dan slow to warm-up

Bayi dan batita memiliki tugas yang berbeda menurut Erikson. Bayi memiliki tugas untuk mengembangkan rasa percaya dan kelekatan sedangkan batita bertugas untuk mengembangkan konsep diri, kemandirian dan moral.

Principles and Applications of CC


Bahan: Lieberman Chp. 3
Diupload oleh: adih


Sesi 3
Melalui eksperimen conditioning-nya Pavlov mengujukan tiga prinsip dasar terjadinya learning pada individu, disebut sebagai hukum asosiasi: (1) contiguity; (2) frequency, dan (3) intensity. Contiguity merupakan kondisi di mana individu memahami hubungan antara dua kejadian (bila CS muncul, begitu pula US; bila bel muncul, begitu pula makanan). Interval --jarak waktu muncul-- antara CS dan US bisa bervariasi: delayed conditioning, trace conditioning, simultaneous conditioning, dan backward conditioning. Moeller (1954) menemukan interval tertentu dibutuhkan untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal (tergantung kompleksitas tingkahlaku). Karena, menurut teori evolusi, belajar merupakan tingkahlaku untuk mengantisipasi suatu kejadian, simultaneous conditioining tidak menghasil belajar (tidak ada yang diantisispasi), begitu pula backward conditioining. Selain contiguity, frequency dan intensity hubungan kedua kejadian (stimulus) dapat menguatkan hasil belajar.

Selain ketiga hukum asosiasi yang Pavlov ajukan, tiga prinsip lain juga memegang peranan dalam proses learning. Pertama, contigency (nilai probabilitas hubungan contingency). Asosiasi dua kejadian (stimulus) bisa bersifat positive contingency (bila CS memprediksi munculnya US) atau negative contingency (bila CS memprediksi tidak munculnya US). Berdasarkan contingency, CS mungkin tidak memiliki nilai preditif (tidak pernah diikuti US), memiliki nilai prediktif absolute (selalu diikuti US), atau moderat (tidak selalu diikuti US). Kedua, preparedness (kesiapan individu untuk memahami asosiasi antara dua stimulus). Ketiga, surprise (adanya kejadian kedua untuk diantisipasi oleh individu --ditemukan melalui penelitian blocking oleh Leo Kamin tahun 1969).

Behaviorist memandang tingkahlaku sebagai hasil belajar, sehingga tingkahlaku abnormal, tepatnya tingkahlaku yang tidak diinginkan, merupakan hasil asosiasi yang tidak tepat. Intervensi tingkahlaku dengan pendekatan behaviorisme dilakukan untuk membentuk asosiasi baru disebut counterconditioning, misalnya systematic desensitization, exposure therapy, dan aversion therapy. Asosiasi lama (misalnya: objek fobia dan rasa takut) diganti, melalui systematic desensitization dan exposure therapy, dengan rasa aman (objek fobia dan rasa aman). Kebalikannya, pada aversion therapy asosiasi baru yang mau dibentuk justru melibatkan rasa tidak nyaman (misalnya: merokok dengan mual-mual).

Minggu, 16 September 2007

Jumat, 07 September 2007

Reviewing Classical Conditioning

Bahan: Lieberman (Chapter 2,3,4)
Diupload oleh: adih


Sesi 2
Rene Descartes, filsuf prancis abad 15-an, menyatakan bahwa makhluk hidup secara genetik mewarisi bendahara refleks, proses pengaktivasian otot (baca: bergerak) setelah sel reseptor menerima stimulus --sifat refleks adalah involunter (contoh: menghindar ketika ada benda bergerak cepat ke arah muka, berliur ketika diperlihatkan makanan, dll). Menurut John Locke, bila dilihat adanya intensi, bendahara tingkahlaku mahkluk hidup (manusia termasuk) ketika lahir masih kosong. Pavlov lah yang pertama kali mendemonstrasikan melalui eksperimen bahwa refleks mungkin saja ditimbulkan tidak oleh stimulus aslinya, tapi stimulus baru, setelah individu membuat asosiasi antara stimulus asli dengan yang baru --Dimitri berliur ketika mendengar bel, setelah dikondisikan: berkali-kali bersamaan diperdengarkan bel dan diperlihatkan makanan (sehingga istilah asli proses ini adalah conditioned reflex --refleks hasil pengkondisian). Sekumpulan conditioned reflexes ini lah yang disebut sebagai hasil belajar (menurut Pavlov) dan mengisi tabula rasa (blank slate) yang dijelaskan Locke.

Kamin (1967) lewat eksperimen tentang blocking pada classical conditioning-nya menemukan ‘surprise’ di lingkungan menjamin terjadinya belajar pada individu. Prinsip ‘surprise’ ini dibuktikan lewat model matematika oleh Rescola-Wagner: semakin besar nilai konstanta belajar (c), semakin sedikit jumlah trial (n) yang dibutuhkan. Model matematikan ini dapat memprediksi pada aplikasi lama pembelajaran (standard conditioning, extinction, dan contingency) dan beberapa aplikasi baru (compound conditioning); tapi masih gagal diaplikasikan pada configural learning dan occasional setting --keduanya juga aplikasi baru.

Classical conditioning Pavlov dan model matematika Rescola-Wagner menunjukkan perubahan ‘apa’ yang terjadi, tapi belum ‘apa yang terjadi dalam (pikiran) individu’ sepanjang proses belajar. Ada dua dugaan terhadap pertanyaan tersebut: signal substitusi dan signal expectation. Beberapa eksperimen, seperti bahwa anjing menggigit-gigit bel dan burung mencoba (seperti) meminum lampu menguatkan kebenaran hipotesis signal substitution, kondisi di mana individu menganggap CS adalah US. Pada eksperimen-eksperimen lain ditemukan anjing mengendus-endus piring kosong setelah mendengar bel, membuktikan hipotesis signal expectation, kondisi di mana subjek menganggap CS sebagai tanda akan munculnya US. Penelitian tentang aktivitas subjek penelitian (hewan) dalam proses belajar. Pada trial tertentu, stimulus ternyata diolah oleh cortex (otak berpikir) sebelum ditugaskan ‘respon’ tertentu oleh amygdala (otak emosi). Pada trial lain, stimulus langsung di’respon’ oleh amygdala, tanpa dikirim ke cortex. Ini berarti, individu dalam menerapkan kedua pola respons (substitusi atau expectation) sesuai kebutuhannya: two-system hypothesis. Dengan demikian, belajar dapat terjadi pada level conscious maupun unconsciousness.




Pengantar Psi. Perkembangan Manusia

Bahan: Chapter 1-3 (buku?)
Diupload oleh: Ewa


Sesi 1
Perubahan dan stabilitas terjadi pada 3 domain perkembangan (fisik, kognitif, dan psikososial) selama rentang kehidupan manusia. Paul B. Baltes mengemukakan 6 prinsip dalam melihat suatu proses perkembangan ini yaitu berlangsung seumur hidup, ada sesuatu yang didapat namun ada juga yang hilang, dipengaruhi oleh kemauan individu untuk mengalokasikan kemampuannya, bersifat plastis, dan dipengaruhi oleh biologis, konteks sejarah dan budaya.

Untuk menjelaskan proses perkembangan manusia secara lebih mendalam dan komprehensif, setiap tahap usia akan dibahas dengan menggunakan 5 teori utama (psikoanalisis, belajar, kognitif, evolusi/sosiobiologis, dan kontekstual). Pemahaman mengenai pendekatan kualitatif dan kuantitatif serta pengambilan data secara cross sectional, longitudinal, dan sequential menjadi sangat penting mengingat ilmu tentang manusia harus selalu diperbaharui melalui penelitian-penelitian.

Dalam perkembangan manusia, yang menjadi awal adalah masa konsepsi, dimana sperma dan ovum bersatu. Setelah itu, gen dan lingkungan akan terus mempengaruhi perkembangannya. Saat bayi, perkembangan akan terlihat dari kepala ke kaki (cephalocaudal), kemudian dari tengah ke pinggir (proximodistal).

Kamis, 30 Agustus 2007

Pengantar Psi. Belajar

Sesi 1.
Behaviorist berargumen bahwa objek psikologi yang tepat adalah tingkahlaku, karena bisa diobservasi sehingga bisa diukur, bukan mind, karena tidak bisa diobservasi maupun diukur (pengukuran mind --operasi mental-- baru dilakukan oleh ilmuwan kognitif). Behaviorist percaya bahwa: pertama, munculnya tingkah laku memiliki pola (lawful) sehingga dapat dipelajari dan diprediksi; kedua, bahwa tingkahlaku dimunculkan oleh lingkungan (prinsip determinisme), bukan oleh kehendak diri (free-will). Penelitian-penelitian kognitif menunjukkan bahwa tingkahlaku dimunculkan bukan oleh lingkungan, tapi oleh interaksi sel-sel saraf (neural determinisme). Menemukan pola tersebut dapat menggunakan antara lain metode introspeksi dan eksperimen (yang dilakukan oleh Behaviorist).

Secara khusus, Behaviorist meneliti perubahan tingkahlaku akibat pengalaman (learning) --teori yang dikembangkan dari batasan ini disebut sebagai psikologi belajar. Psikologi belajar menunjukkan bahwa tingkahlaku individu mungkin berubah setelah menemukan hubungan antara dua atau lebih kejadian --disebut associative learning. Pavlov menemukan bahwa tingkahlaku dapat berubah setelah individu menemukan asosiasi antara dua stimulus (Dimitri, anjing Pavlov, yang tadinya tidak meliur ketika mendengar bel, menjadi meliur ketika mendengar bel karena secara konsisten bunyi bel muncul bersamaan dengan makanan) --disebut classical conditioning. Skinner, menemukan bahwa tingkahlaku laku individu dapat berubah sesuai dengan stimulus yang mengikutinya (bila stimulusnya menyenangkan, frekuensi tingkahlaku meningkat; bila tidak menyenangkan, frekuensi berkurang).

Learning terjadi dalam 3 tahap: acquisition, storage, retrieval. Beberapa hal --seperti motivasi, sensasi, habituasi, adaptasi sensoris, karakter fisiologis, fatigue, state-dependent learning-- mungkin terkandung dalam sebuah perubahan tingkahlaku sehingga tidak semua perubahan tersebut bisa disebut sebagai hasil learning. Tingkahlaku yang bukan hasil belajar misalnya: reflex, insting, imprinting.