Jumat, 07 September 2007

Reviewing Classical Conditioning

Bahan: Lieberman (Chapter 2,3,4)
Diupload oleh: adih


Sesi 2
Rene Descartes, filsuf prancis abad 15-an, menyatakan bahwa makhluk hidup secara genetik mewarisi bendahara refleks, proses pengaktivasian otot (baca: bergerak) setelah sel reseptor menerima stimulus --sifat refleks adalah involunter (contoh: menghindar ketika ada benda bergerak cepat ke arah muka, berliur ketika diperlihatkan makanan, dll). Menurut John Locke, bila dilihat adanya intensi, bendahara tingkahlaku mahkluk hidup (manusia termasuk) ketika lahir masih kosong. Pavlov lah yang pertama kali mendemonstrasikan melalui eksperimen bahwa refleks mungkin saja ditimbulkan tidak oleh stimulus aslinya, tapi stimulus baru, setelah individu membuat asosiasi antara stimulus asli dengan yang baru --Dimitri berliur ketika mendengar bel, setelah dikondisikan: berkali-kali bersamaan diperdengarkan bel dan diperlihatkan makanan (sehingga istilah asli proses ini adalah conditioned reflex --refleks hasil pengkondisian). Sekumpulan conditioned reflexes ini lah yang disebut sebagai hasil belajar (menurut Pavlov) dan mengisi tabula rasa (blank slate) yang dijelaskan Locke.

Kamin (1967) lewat eksperimen tentang blocking pada classical conditioning-nya menemukan ‘surprise’ di lingkungan menjamin terjadinya belajar pada individu. Prinsip ‘surprise’ ini dibuktikan lewat model matematika oleh Rescola-Wagner: semakin besar nilai konstanta belajar (c), semakin sedikit jumlah trial (n) yang dibutuhkan. Model matematikan ini dapat memprediksi pada aplikasi lama pembelajaran (standard conditioning, extinction, dan contingency) dan beberapa aplikasi baru (compound conditioning); tapi masih gagal diaplikasikan pada configural learning dan occasional setting --keduanya juga aplikasi baru.

Classical conditioning Pavlov dan model matematika Rescola-Wagner menunjukkan perubahan ‘apa’ yang terjadi, tapi belum ‘apa yang terjadi dalam (pikiran) individu’ sepanjang proses belajar. Ada dua dugaan terhadap pertanyaan tersebut: signal substitusi dan signal expectation. Beberapa eksperimen, seperti bahwa anjing menggigit-gigit bel dan burung mencoba (seperti) meminum lampu menguatkan kebenaran hipotesis signal substitution, kondisi di mana individu menganggap CS adalah US. Pada eksperimen-eksperimen lain ditemukan anjing mengendus-endus piring kosong setelah mendengar bel, membuktikan hipotesis signal expectation, kondisi di mana subjek menganggap CS sebagai tanda akan munculnya US. Penelitian tentang aktivitas subjek penelitian (hewan) dalam proses belajar. Pada trial tertentu, stimulus ternyata diolah oleh cortex (otak berpikir) sebelum ditugaskan ‘respon’ tertentu oleh amygdala (otak emosi). Pada trial lain, stimulus langsung di’respon’ oleh amygdala, tanpa dikirim ke cortex. Ini berarti, individu dalam menerapkan kedua pola respons (substitusi atau expectation) sesuai kebutuhannya: two-system hypothesis. Dengan demikian, belajar dapat terjadi pada level conscious maupun unconsciousness.




Tidak ada komentar: